Para pembaca yang budiman semoga Allah merahmati
saya dan anda semua. Dalam menghadapi realita yang ada terkadang kita
dihadapkan kepada dua pilihan yang terasa sulit untuk ditentukan. Melakukan ini
ataukah yang itu. Apabila pilihan yang satu diambil maka ada perkara penting
dan maslahat yang luput dari kita. Namun sebaliknya, apabila kita
meninggalkannya kita juga akan kehilangan sesuatu yang tidak kalah pentingnya
dan bahkan mungkin bisa jadi lebih banyak mengundang pahala.
Nah, di antara segepok
persoalan yang dihadapi oleh umat ini kami ingin mengangkat dua buah
permasalahan yang akhir-akhir ini mulai banyak diabaikan oleh orang. Masalah
pertama terkait dengan jihad di medan perang membela agama Allah. Sedangkan
masalah kedua terkait dengan keberadaan orang-orang yang shalih di daerah yang
subur dengan kemaksiatan dan kejahatan. Disamping itu ada sebuah pelajaran
dakwah yang sangat berharga yang disampaikan Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin untuk kita semua. Sudah seyogyanya kita merenungkan dan mengambil
pelajaran dari nasihat beliau rahimahullahu wa askanahu fil jannah
(semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di dalam surga). Selamat
menyimak.
Masalah Pertama: Manakah yang lebih
utama, menekuni ilmu ataukah terjun ke medan jihad di jalan Allah?
Ketika menjawab pertanyaan ini Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun ilmu karena
keberadaannya sebagai ilmu maka dia itu lebih utama daripada berjihad di jalan
Allah. Karena seluruh umat manusia senantiasa memerlukan ilmu. Sehingga Imam
Ahmad pun mengatakan, ‘Ilmu itu tidak akan bisa ditandingi oleh apapun,
yaitu bagi orang yang niatnya benar.’ Selain itu hukum jihad tidaklah
mungkin menjadi sesuatu yang wajib ‘ain secara terus menerus. Dalilnya adalah
firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Dan tidak selayaknya orang-orang yang
beriman itu pergi berjihad semuanya.’ (QS. At Taubah: 22). Seandainya
hukumnya adalah fardhu ‘ain maka niscaya dia akan menjadi kewajiban
yang ditanggung oleh setiap komponen umat Islam. ‘Karena seharusnya ada
sekelompok orang dari setiap kaum.’ (QS. At Taubah: 122), artinya
hendaknya ada sebagian orang yang tetap tinggal, ‘Dalam rangka mendalami
ilmu agama, dan juga agar mereka bisa memberikan peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali (dari berjihad), supaya mereka berhati-hati.’
(QS. At Taubah: 122)
“Meskipun demikian hukum ini berbeda-beda
penerapannya tergantung dengan individu pelakunya dan keadaan waktu yang
dialami. Sehingga bisa jadi kepada seseorang kita katakan bahwa yang lebih
utama bagi anda adalah berjihad. Dan kepada orang lain kita katakan bahwa yang
lebih utama bagi anda adalah menekuni ilmu. Apabila dia tergolong orang yang
gagah berani dan kuat serta penuh semangat dan kurang begitu cerdas maka maka
amal yang lebih utama baginya adalah berjihad karena itulah yang lebih cocok
baginya. Sedangkan apabila ternyata dia adalah seseorang yang cerdas dan kuat
hafalannya serta memiliki kekuatan dalam berargumentasi maka amal yang lebih
utama baginya adalah menekuni ilmu. Hal ini apabila ditinjau dari sisi
pelakunya.
Adapun apabila dilihat dari sisi waktu, maka
apabila kita berada pada masa dimana para ulama saat itu jumlahnya sudah banyak
sementara kawasan perbatasan sangat membutuhkan para penjaga garis perbatasan
maka ketika itu yang lebih utama adalah terjun ke medan jihad. Adapun apabila
kita berada pada suatu masa dimana saat itu begitu banyak kebodohan dan
kebid’ahan yang banyak bertebaran dan mencuat ke permukaan di tengah-tengah
masyarakat maka ketika itu yang lebih utama adalah menekuni ilmu.
Dengan demikian di sana terdapat tiga perkara
yang harus diperhatikan baik-baik oleh para penuntut ilmu, yaitu:
Pertama, berbagai kebid’ahan yang sudah mulai
menampakkan kejelekan-kejelekannya.
Kedua, fatwa yang dikeluarkan tanpa ilmu.
Ketiga, terjadinya perdebatan dalam banyak
masalah yang tidak berlandaskan ilmu.
Dan apabila ternyata tidak bisa ditemukan alasan
lain yang bisa menguatkan mana yang lebih baik maka menekuni ilmu itulah yang
lebih utama.” (Syarah Arba’in, hal. 16).
Masalah Kedua: Manakah yang lebih utama,
berhijrah ataukah tinggal di negeri fasik?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
ketika menanggapi pertanyaan tentang hukum hijrah wajib ataukah sunnah maka
beliau mengatakan:
“Dalam hal ini ada perincian. Apabila seseorang
sanggup menampakkan agamanya dan memperlihatkannya secara terang-terangan serta
tidak ada penghalang yang menghambatnya untuk itu, maka dalam kondisi ini
hijrah hukumnya sunnah baginya. Adapun apabila ternyata dia tidak sanggup
(menampakkan agamanya) maka berhijrah hukumnya wajib, dan inilah batasan untuk
membedakan antara yang sunnah dengan yang wajib. Hukum tersebut berlaku apabila
negeri tersebut adalah negeri kafir. Adapun di negeri fasik yaitu suatu negeri
yang kefasikan dilakukan secara terang-terangan dan dipertontonkan, maka kami
katakan kepadanya; apabila seseorang merasa khawatir terhadap keselamatan
dirinya dari ikut terjerumus dalam kemaksiatan yang banyak dilakukan oleh
penduduk negeri tersebut maka dalam kondisi ini hukum hijrah adalah wajib
baginya. Apabila dia tidak khawatir atas hal itu maka hukum hijrah tidak sampai derajat wajib
baginya.
Bahkan bisa saja kami katakan bahwa apabila
dengan keberadaannya di sana memberikan maslahat dan upaya perbaikan maka hukum
tinggal di sana baginya adalah wajib karena kebutuhan penduduk negeri tersebut
kepadanya dalam rangka menegakkan perbaikan, menggalakkan amar ma’ruf
dan nahi munkar. Dan sungguh aneh ada sebagian orang yang sengaja
meninggalkan negeri Islam (mungkin maksud beliau negeri Islam yang kefasikan
banyak bertebaran, pent) dan justru berpindah ke negeri kafir. Sebab apabila
orang-orang yang mampu melakukan perbaikan pergi dari sana lalu siapakah yang
akan tetap tinggal untuk mendakwahi orang-orang yang gemar berbuat kerusakan
dan kemaksiatan itu. Bahkan terkadang kondisi negeri itu akan lebih bertambah
parah gara-gara sedikitnya jumlah orang yang melakukan perbaikan dan banyaknya
jumlah orang yang melakukan kerusakan dan kemaksiatan. Namun apabila dia masih
mau tinggal dan menjalankan dakwah ilallah sesuai dengan keadaannya
maka tentunya kelak dia akan sanggup memperbaiki orang-orang lain. Dan orang
yang diajaknya itu juga akan mengajak orang lainnya lagi kepada kebaikan sampai
pada suatu saat orang-orang yang tinggal di situ akan menjadi baik berkat
dakwah mereka.
Apabila mayoritas orang sudah baik maka secara
umum orang-orang yang menduduki tampuk pemerintahan pun akan ikut menjadi baik
meskipun hal itu terjadi dengan jalan tekanan atau keterpaksaan. Akan tetapi
ada satu permasalahan yang justru memperburuk keadaan ini. Dan sungguh
menyedihkan, ternyata sumbernya adalah orang-orang shalih itu sendiri. Kalian
dapatkan orang-orang shalih itu justru bergolong-golongan, berpecah belah serta
tercerai berai kesatuan mereka hanya karena perselisihan dalam beberapa
persoalan hukum agama yang perbedaan pendapat masih dimaafkan di dalamnya,
inilah yang terjadi sebenarnya. Terlebih lagi di negeri-negeri yang ajaran Islam
belum bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga terkadang mereka
terjerumus dalam sikap saling memusuhi, saling membenci dan saling memboikot
hanya gara-gara permasalahan mengangkat tangan ketika shalat (i’tidal).
Saya akan menceritakan kepada kalian sebuah kisah
nyata yang saya alami sendiri ketika berada di Mina. Pada suatu hari, seorang
direktur bimbingan haji datang menemui saya bersama dengan dua rombongan
jama’ah haji berkebangsaan Afrika dimana salah satu dari mereka mengkafirkan yang
lainnya. Lalu apakah yang menjadi alasannya ?? Maka sang direktur menceritakan;
salah satu diantara keduanya mengatakan bahwa amal yang sunnah dilakukan oleh
orang yang sedang shalat ketika berdiri (i’tidal) adalah meletakkan
kedua tangannya di atas dada. Sedangkan orang yang satunya mengatakan yang
sunnah itu adalah membiarkan kedua tangan terjulur ke bawah. Padahal
permasalahan ini adalah perkara hukum cabang yang mudah dan bukan tergolong
masalah fundamental dan furu’ (saya tidak paham apa maksud penambahan
kata furu’ oleh Syaikh di sini, pent). Mereka (rombongan yang satunya)
membantah orang itu seraya mengatakan: ‘Ah, bukan demikian. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Barangsiapa yang membenci sunnahku
maka dia bukan termasuk golonganku.” Dan ini merupakan kekafiran yang Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai berlepas diri darinya.’ Maka
berdasarkan pemahaman yang keliru inilah rombongan yang satu mengkafirkan
rombongan yang lainnya.
Namun catatan terpenting (dari kisah ini) adalah
sebagian penyeru kebaikan di negeri-negeri yang ajaran Islamnya belum kokoh
terpatri di masyarakat justru terjatuh dalam tindakan saling mencap ahli bid’ah
dan tukang maksiat kepada sesama saudaranya. Kalau saja mereka mau bersatu padu
dan kalaupun tetap berbeda pendapat namun dada mereka tetap merasa lapang
terhadap adanya perselisihan yang memang masih diperkenankan dan mereka itu
tetap berada dalam sebuah kesatuan maka niscaya kondisi umat pun akan semakin
bertambah baik. Akan tetapi bagaimana apabila ternyata ummat justru melihat
orang-orang yang berupaya memperbaiki keadaan dan berjalan di atas garis
istiqamah ini malah menyuburkan rasa dengki dan perselisihan dalam berbagai
persoalan agama di antara sesama mereka, maka niscaya umat akan berbalik
meninggalkan mereka beserta kebaikan dan petunjuk yang mereka bawa. Bahkan bisa
jadi hal itu menyebabkan mereka berbalik kepada keburukan lagi (alias futur,
pent), dan inilah kenyataan yang terjadi, wal ‘iyaadzu billaah.
Sehingga anda pun bisa melihat, ada seorang pemuda
yang baru saja menempuh jalan keistiqamahan dengan anggapan di dalam dirinya
bahwa ajaran agama itu penuh dengan kebaikan, petunjuk, kelapangan dada dan
membuahkan ketenangan hati kemudian dia melihat realita perselisihan,
pertentangan, kebencian dan permusuhan yang terjadi diantara orang-orang yang
istiqamah maka akhirnya diapun memilih untuk meninggalkan jalur keistiqamahan
gara-gara dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari.
Kesimpulannya, hukum hijrah dari negeri kafir
tidaklah sama dengan hukum hijrah dari negeri fasik. Sehingga terkadang bisa
dikatakan kepada seseorang; bersabarlah dan harapkanlah pahala (tidak usah
pergi) apalagi jika ternyata anda adalah orang yang sanggup melakukan upaya
perbaikan. Dan bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya bahwa sebenarnya hukum
berhijrah bagimu adalah haram.” (Syarah Arba’in, hal. 17-18).
***
Disusun oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 Komentar