Salah satu aspek penting yang membedakan Ahlussunnah wal jama’ah
dengan yang lain adalah konsep pengambilan ilmu dan dalil (manhaj
talaqqi dan istidlal). Konsep ini mencakup sumber ilmu dan dalil beserta
metode pendalilan tentang suatu masalah. Syekh Prof. DR. Nashir bin
Abdul Karim al-‘Aql hafidzahullah menyebutkan dua belas poin
sebagai landasan dan kaidah pokok dalam metode talaqqi dan istidlal
Ahlussunnah waljama’aah dalam kitabnya Mujmal Ushul Ahlissunnati Wal
Jama’ati fil ‘Aqidah. Kedua belas kaidah tersebut adalah:
Sumber aqidah adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta ijma’ salafus Shalih,1
Setiap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk diterima walaupun ia tergolong hadits ahad2 baik dalam masalah aqidah maupun yang lainnya,
Rujukan dalam memahami al-Kitab (al-Qur’an) dan As-Sunnah adalah
nash-nash yang menjelaskannya, dan pemahaman Salafus Shaleh serta
(pemahaman)orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari para
imam. Dan apa yang telah tsabit (tetap) dari hal itu tidak boleh
disangkal dengan kemungkinan-kemungkinan (tinjauan) bahasa,
Pokok-pokok Agama (Ushulud Dien) seluruhnya telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak boleh bagi siapapun mengada-adakan sesuatu yang baru lalu mengklaimnya sebagai bagian dari Agama,
Taslim (berserah diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan
batin, maka tidak menentang sesuatupun dari al-Qur’an atau as-Sunnah
yang shahih dengan qiyas (analogi), dzauq (perasaan), kasyaf, atau
perkataan Syekh serta imam dan sebagainya,
Akal sehat selalu sejaln dengan dalil naqli yang shahih, dan hal
(akal dan naqli) yang qath’iy (pasti) tidak akan pernah bertentangan
sama sekali. (Namun) jika terjadi wahm (dugaan) bahwa keduanya
bertentangan maka didahulukan dalil naqli.
Wajib iltizam (komitmen) dengan lafadz-lafadz syar’i dalam masalah
aqidah dan wajib menjauhi lafadz-lafadz bid’ah yang diada-adakan oleh
manusia. Sedangkan lafadz-lafadz yang memiliki kemungkinan (makna) salah
dan benar, maka diperjelas akan maknanya. Yang benar ditetapkan dengan
lafadznya yang syar’i, sedangkan yang batil ditolak,
‘Ishmah (terjaga dari kesalahan) bersifat tetap pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan ummat secara kolektif ma’shum dari bersepakat dalam
kesesatan. Adapun secara personal tidak satupun yang ma’shum diantara
mereka. Oleh karena itu apa yang diikhtilafkan oleh para Imam dan yang
lainnya maka rujukannya adalah al-Kitab dan As-Sunnah. Apa yang sesuai
dalil diterima, dengan tetap memberi udzur kepada mujtahid ummat yang
salah (dalam ijtihadnya).
Pada ummat ini ada orang-orang yang muhaddatsun dan mulhamun, seperti Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Dan mimpi yang shalih itu benar, ia merupakan bagian dari Nubuwwah.
Firasat yang benar juga haq. Dalam mimpi dan firasat tersebut terdapat
karamah dan kabar gembira (mubasyirat) dengan syarat sesuai dengan
aqidah. Tetapi tidak merupakan sumber aqidah dan tasyri’.
Mira (debat kusir) dalam agama adalah tercela, dan debat dengan cara yang baik (mujadalah bilhusna)
disyariatkan. Jika ada dalil shahih yang melarang membicarakan sesuatu,
maka wajib mengamalkan dalil tersebut. Dan seorang Muslim wajib menahan
diri dari membicarakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya,
dan dia wajib mengembalikan hal tersebut kepada yang maha mengetahuinya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Wajib untuk ilitizam pada manhaj wahyu dalam membantah, sebagaimana
hal tersebut juga wajib dalam masalah i’tiqad dan taqrir. Maka bid’ah
tidak dibantah dengan bid’ah. Sikap meremehkan tidak dihadapi dengan
ghuluw (berlebihan), dan tidak pula sebaliknya.
Setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka.
ahu a’lam. (sym)
Catatan: Penjelasan masing-masing poin insya Allah pada tulisan berikutnya secara berseri. Semoga Allah memberikan taufiq.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Mujmal Ushul Ahlissunnah Wal Jama’ah Fil ‘Aqidah, Syekh. Prof. DR. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql.
1 As-Salaf as-Shalih artinya para pendahulu yang shalih. Dalam Kamus-kamus bahasa Arab disebutkan, “salaf adalah orang yang mendahuluimi dari kalangan kakek buyutmu dan kerabatmu yang melampauimu dari sisi usia dan keutamaan. Oleh karena itu generasi awal Islam dari kalangan Tabi’in disebut as-Salaf as-Shalih”. (Tajul ‘Arus, Lisanul ‘Arab, dan al-Qamusul Muhith).
2
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak
mencapai derajat mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh jumlah banyak yang mustahil bersekongkol untuk
berdusta. Menurut kalangan ahli bid’ah, hadits ahad tidak bisa dijadikan
dalil dalam masalah aqidah karena menurut mereka hadits ahad tidak
mendatangkan ilmu, tapi hanya mendatangkan keraguan. Pandangan ini tidak
tepat karena yang rajih bahwa hadits ahad yang shahih mendatangkan
ilmu/yakin sehingga dapat dijadikan dalil dalam masalah aqidah.
Source : https://wahdah.or.id/12-kaidah-pokok-pengambilan-ilmu-dan-dalil-menurut-ahlussunnah-waljamaah/
Social Plugin