Bila Islam terwujud dalam sebuah bangunan yang
indah, lalu Anda berdiri tepat di sisi luarnya mencari-cari di mana
gerangan Anda dapat memasuki dan merasakan keindahannya, maka kalimat
agung inilah kunci sekaligus gerbang pertamanya. Dengan mengucapkannya
berarti Anda telah mengawali sebuah kisah indah dalam hidup Anda. Sebuah
kisah cinta yang benar-benar suci –dan bukan kisah cinta yang
terlarang-. Kisah cinta antara Anda sang makhluq yang lemah denganNya,
sang Khaliq yang tak terkira kemahaperkasaanNya. Dan cinta ini
seharusnya melalaikan Anda dari yang lain, selainNya. Tapi kenyataan
berbicara lain…
Kenyataannya setelah kita memasuki bangunan Islam ini, meskipun kalimat La ilaha illallah menjadi salah satu kalimat yang paling sering kita ucapkan, tidak ada ‘kisah cinta yang indah’ itu ! Hari-hari indah penuh percintaan dengan Allah Ta’ala tinggal menjadi sebuah kisah yang tak pernah terwujud. Yang tersisa hanyalah sekumpulan ritual yang dikerjakan tanpa kehadiran ruhnya. Bahkan dalam banyak kesempatan, ritual-ritual itu sama sekali tidak pernah dicontohkan atau dibukakan jalannya oleh Allah dan RasulNya. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan kita ? Mengapa kalimat agung berbunyi La ilaha illallah itu tak menyisakan dorongan-dorongan cinta dalam hati kita ?
Kenyataannya setelah kita memasuki bangunan Islam ini, meskipun kalimat La ilaha illallah menjadi salah satu kalimat yang paling sering kita ucapkan, tidak ada ‘kisah cinta yang indah’ itu ! Hari-hari indah penuh percintaan dengan Allah Ta’ala tinggal menjadi sebuah kisah yang tak pernah terwujud. Yang tersisa hanyalah sekumpulan ritual yang dikerjakan tanpa kehadiran ruhnya. Bahkan dalam banyak kesempatan, ritual-ritual itu sama sekali tidak pernah dicontohkan atau dibukakan jalannya oleh Allah dan RasulNya. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan kita ? Mengapa kalimat agung berbunyi La ilaha illallah itu tak menyisakan dorongan-dorongan cinta dalam hati kita ?
Mungkin ada banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Namun salah satu jawaban yang pasti adalah karena kita tak lagi memahami
keindahan makna yang dikandungnya. Cara dan metodologi yang selama ini
kita gunakan untuk menyelami keindahan aqidah Al Qur’an dan As Sunnah
–yang terangkum dalam La ilaha illallah– tidak berhasil membuka
mata kita untuk melihat keindahannya. Yang nampak hanyalah sekumpulan
perdebatan-perdebatan filosofis tak berujung. Tak memberikan keindahan La ilaha illallah.
Yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki
oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu
adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang
mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang
sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang.
Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya,
maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati
dengan meyakini agama orang-orang badui[1].”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh
lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini.
Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi
seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak
cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata
ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian
mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak
mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Di akhir hayatnya, ia benar-benar memboikot ilmu itu. Ia tidak lagi
percaya dengan segala metodologi yang ditawarkannya. Ia telah menemukan
bahwa berpegang teguh pada As Sunnah-lah kunci keteguhan dan ketenangan
itu. Ia begitu yakin dengan itu. Hingga ia wafat sembari memeluk kitab Shahih Al Bukhary dalam dekapannya.
Al Qur’an dan As Sunnah, Sumber Keindahan ‘La Ilaha illallah”
Sesungguhnya rahasia terpenting yang terkandung dalam ‘aqidah La ilaha illallah yang telah menyebabkan terjadinya perubahan dahsyat dalam perjalanan sejarah dan melahirkan pribadi-pribadi agung dalam sejarah Islam itu tersembunyi dalam keindahannya, keindahan La ilaha illallah.
Al Qur’an dan As Sunnah, Sumber Keindahan ‘La Ilaha illallah”
Sesungguhnya rahasia terpenting yang terkandung dalam ‘aqidah La ilaha illallah yang telah menyebabkan terjadinya perubahan dahsyat dalam perjalanan sejarah dan melahirkan pribadi-pribadi agung dalam sejarah Islam itu tersembunyi dalam keindahannya, keindahan La ilaha illallah.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sentuhan-sentuhan
keindahan kalimat agung ini begitu kuat di kala itu hingga melahirkan
sebuah generasi yang tak akan pernah lagi lahir di dunia ini? Bukankah
kalimat itu tak berubah satu hurufpun? Pengucapannya pun tak
putus-putusnya kita dengarkan setiap hari.
Jawabannya sungguh sangat sederhana. Karena generasi itu benar-benar
membuka hati mereka seluas-luasnya untuk menerima dengan tulus
tuturan-tuturan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka biarkan jiwa mereka
basah oleh tetesan-tetesan kebenarannya. Singkatnya, mereka mencukupkan
diri dengan apa yang ada dalam sumber itu. Mereka benar-benar menjaga
keindahannya sebab bukankah keduanya memang bersumber dari Sang Maha
indah lagi Maha perkasa. Sedikitpun mereka tidak berpikir untuk mengusik
keindahannya dengan –misalnya- penakwilan-penakwilan filosofis atau
ilmu Kalam. Tidak.
Demikianlah, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah dipenuhi dengan sebuah
hakikat yang agung –sesuatu yang tak mungkin Anda dapatkan dengan ilmu
Kalam misalnya- yaitu bahwa ‘aqidah kita adalah ‘aqidah yang sangat indah, menenangkan dan membahagiakan ! (MIZ,Mjl Islamy)
[1] Agama orang badui maksudnya
agama orang awam yang sama sekali tidak mengerti ilmu filsafat dan
kalam, sehingga mereka meyakini Islam apa adanya dari Rasulullah saw dan
para salaf.
Sumber : https://wahdah.or.id/tauhid-itu-indah/
Social Plugin