Soal
Apakah
berbekam termasuk pembatal-pembatal puasa (Ramadhan)?
Jawab
Hal ini
adalah masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat ulama tentangnya):
Imam Ahmad
berpendapat bahwa pembekam (yang melakukan terapi bekam) dan terbekam (yang
diterapi bekam) berbuka jika nampak darah dari terbekam, dan jika keduanya
-pembekam dan terbekam- sengaja dan sadar dengan puasanya. Dan beliau -semoga
Allah merahmatinya- berdalil dengan hadis-hadis yang marfu’ (sampai riwayatnya
ke Rasulullah Solallahu allaih wasalam)
tentang itu dari Sahabat-Sahabat (Rasulullah Solallahu
allaih wasalam) dengan perkataan: أفطر” الحاجم والمحجوم” yang artinya “telah berbuka/batal puasa
sang pembekam dan sang terbekam” dan hadis ini dikatakan telah mencapai derajat
mutawatir (sangat banyak jalur periwayatnya sehingga tidak mungkin ini adalah
hadis dusta), dimana ada 12 (dua belas) Sahabat yang meriwayatkannya.
Dan para pemegang
pendapat ini (batalnya puasa dengan berbekam) yakni batalnya (puasa) pembekam
tadi karena menghirup darah terbekam (alat penghisap darahnya adalah mulut
pembekam), sementara batalnya (puasa) terbekam adalah karena keluarnya darah
yang banyak dan ini membatalkan puasa, sebagaimana keluarnya darah wanita haid
menjadi penyebab batalnya puasanya, dan mungkin saja darah haid yang keluar
dari beberapa wanita jumlahnya lebih sedikit (tidak sebanyak) dari darah yang
keluar dari terbekam, dan sesungguhnya keluarnya darah ini melemahkan badannya,
dan mungkin saja darahnya meluber seperti muntah, dan kalau pun alasan ini
tidak dianggap tepat maka sesungguhnya hadis ini derajatnya shahih/benar/sah,
diriwayatkan oleh banyak Sahabat, di antara mereka adalah Tsauban, Syadad ibn
Aus, Rafi’ ibn Khadij, dan ketiganya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam buku
“Musnad” karya beliau, juga diriwayatkan dalam buku-buku “Sunan”, begitu pula
Ma’qal ibn Yasar, Bilal ibn Rabah, Aisyah, dan Abu Hurairah, begitu pula
periwayat dari hadis ini, semoga Allah meridhoi mereka semua.
Dan Tiga
Imam (Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i) berbeda pendapat tentang ini, dan para
penerus mereka berdalih dengan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad -semoga Allah
merahmati beliau- kemudian sebagian dari mereka berkata: sesungguhnya hadis
“telah berbuka/batal puasa sang pembekam dan sang terbekam” karena keduanya
menggunjing orang lain, dan kami berkata atas perkataan ini bahwa Imam Ahmad
-semoga Allah merahmati beliau- berkata: kalau menggunjing adalah membatalkan
puasa maka tidak ada yang tersisa dari kita satu pun kecuali telah batal
puasanya.
Dan yang
lainnya berdalih dengan dalih-dalih, di antaranya adalah bahwa hadis di atas
itu mansukh (sudah dihapus hukumnya), dan mereka berkata: sesungguhnya terdapat
dalam hadis bahwa Nabi Solallahu allaih wasalam memberikan
rukhshoh/keringanan berbekam bagi yang puasa, dan keringanan ini menunjukkan
bahwa hadis “telah berbuka/batal puasa sang pembekam dan sang terbekam” telah
mansukh. Akan tetapi, hadis yang mengungkapkan keringanan ini, di dalamnya
terdapat kelemahan, dan dengan disahkannya/di-shahih-kannya hadis ini pun,
berdalih bahwa hadis ini lebih akhir dari hadis di atas, maka tidak ada atas
kami dalil yang menunjukkan bahwa hadis keringanan ini datang lebih akhir dari
hadis di atas.
Dan
pegangan terkuat dari pihak-pihak yang mengatakan hadis di atas mansukh, adalah
hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari: “احتجم
النبي -صلى الله عليه وسلم- وهو صائم، واحتجم وهو محرم” artinya “Nabi Solallahu allaih wasalam dibekam ketika beliau berpuasa, dan
beliau muhrim (berpakaian ihram)”.
Akan
tetapi, semua riwayatnya mengatakan: “احتجم وهو صائم
محرم” yang artinya “beliau dibekam dan beliau berpuasa serta
muhrim”. Dan inilah teks yang sah, dan kebanyakan murid-murid Ibnu Abbas tidak
menyebutkan masalah puasa, namun hanya menyebutkan muhrim.
Dan ketika
disampaikan hadis ini ke Imam Ahmad, beliau berkata: “tidak ada kata puasa,
(jika ada) maka menyendiri riwayat dari fulan dan fulan …”. Sementara
murid-murid Ibnu Abbas, seperti Sa’id ibn Jubair, ‘Ikrimah, Qatadah, dan
Kuraib; tidak menyebutkan puasa, akan tetapi mereka berkata: “احتجم وهو محرم” yang artinya “beliau dibekam dan beliau
muhrim”; maka ini menunjukkan bahwa kata puasa adalah tambahan dari beberapa
riwayat, akan tetapi selama tambahan ini melalui jalur yang terpercaya maka
tambahan ini diterima.
Dan
beberapa ulama berdalih dari tambahan ini, dan berkata: sesungguhnya Rasulullah
Solallahu allaih wasalam tidaklah
muhrim kecuali sedang safar, dan musafir boleh baginya berbuka, maka beliau Solallahu allaih wasalam berbekam karena sudah berbuka, maka
para pendukung perkataan ke dua berkata: beliau Solallahu
allaih wasalam berpuasa menunjukkan bahwa beliau Solallahu allaih wasalam tetap dalam kondisi berpuasa, kalau
beliau Solallahu allaih wasalam sudah
batal, maka akan tidak akan dikatakan: beliau Solallahu
allaih wasalam berpuasa; maka ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya beliau Solallahu allaih wasalam berbekam
sedang berpuasa, dan bekam ini tidak mengganggu puasanya Solallahu allaih wasalam.
Dan yang
shahih/sah -bila Allah berkenan- adalah pendapat Imam Ahmad -semoga Allah
merahmati beliau- bahwa berbekam membatalkan puasa pembekam dan terbekam;
sesuai sabda Nabi SAW: “أفطر الحاجم والمحجوم”
yang artinya “telah berbuka/batal puasa sang pembekam dan sang terbekam”, dan
Allah-lah yang paling tahu. (Fatwa Syaikh Abdullah ibn Jibrin, Sumber:
http://ibn-jebreen.com/cache/webpages/1a76248ccd8f53baa1fed493bccbe8a0.html
Penerjemah:
Yumarsono Muhyi, ST, MM)
Social Plugin