Bersuci
dan sholat bagi seorang muslim adalah dua perbuatan yang memiliki hubungan yang
erat, bersuci dari hadats merupakan syarat sahnya sholat, berdasarkan hadits
Rasulullah-Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ
“Kunci sholat
itu adalah bersuci” (HR. Ahmad No. 1006, Ibnu Majah No. 275, Abu Daud No. 61
& at-Tirmidzy No. 3, dan hadits ini disahihkan oleh al-Albaniy)
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ
حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah
tidak menerima sholat salah seorang di antara kalian jika ia dalam keadaan
hadats sampai ia bersuci” (HR. Bukhari No. 6954).
Persoalan
yang muncul saat ini adalah ketika seorang tenaga kesehatan (nakes) dalam
penanganan covid-19 diwajibkan untuk mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang
berupa pakaian lengkap, yang aturannya tidak dapat ditanggalkan setiap saat
kecuali pada saat tertentu, di mana terkadang nakes yang mengenakannya melewati
dua waktu sholat dan terkadang ia dalam keadaan hadats dan belum waktunya dapat
melepaskan pakaian tersebut. Kondisi ini bertmbah sulit karena jumlah APD
sangat terbatas, dan hanya bisa dikenakan satu kali. Maka dalam kondisi seperti
ini, bagaimana cara bersuci dan sholatnya dalam kondisi seperti ini?, maka
jawabannya dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut ini:
1. Kondisi
yang digambarkan adalah kondisi yang dapat dikategorikan darurat atau minimal
mendekati darurat, di mana kondisi yang ada mengharuskan nakes untuk berada
dalam pakaian tersebut dalam waktu yang relatif lama dan jika APD tidak
dikenakan maka akan mengancam keselamatan jiwanya dimana ia rentan tertular
virus covid-19. Maka dalil dan kaidah yang digunakan adalah sebagai berikut:
Firman
Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah
kepada Allah sesuai dengan kesanggupan kalian”. (QS. at-Taghaabun: 16)
Hadits:
فَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila
aku perintahkan kalian satu perkara, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan
kalian”. (HR. Bukhari No. 7288 & Muslim No. 1337)
Kaidah:
المَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التّيسيرَ
“Kesulitan
mendatangkan kemudahan” (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah 3/ 19)
Kaidah:
دَرْءُ
المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ علَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak
mudharat lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”. (al-Qawaid al
Fiqhiyyah wa Tathbiquha fi al Madzahib al-Arba’ah 1/ 238).
2. Sebelum
menggunakan APD, maka seharusnya tenaga kesehatannya telah bersuci baik dari
hadats kecil dengan berwudhu atau hadats besar dengan mandi. Dan semaksimal
mungkin setelah mengenakan APD, ia berusaha untuk terus menjaga kondisi suci
ini semampu mungkin.
3. Jika
dalam kondisi suci, belum ada yang membatalkan wudhunya maka nakes dapat sholat
sebagaimana biasanya pada waktunya dengan mengenakan APD. Namun jika tidak
mungkin melaksanakan setiap sholat pada waktunya, maka dalam kondisi ini ia
dapat menjamak 2 sholat ( sholat Dhuhur dan Ashar serta sholat Magrib dan Isya)
masing-masing sesuai dengan bilangan rakaatnya (tidak diqashar). Berdasarkan
hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu’anhuma- :
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ،
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ”،
فَقِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ؟ قَالَ: “أَرَادَ أَنْ لَا
يُحْرِجَ أُمَّتَهُ”
“Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam menjamak sholat Dhuhur dan Ashar begitujuga Sholat
Magrib dan Isya’ tanpa ada rasa takut dan tanpa ada hujan”. Ibnu Abbas ditanya,
apa yang beliau inginkan dengan hal ini?, beliau berkata: “Beliau tidak ingin
memberatkan ummatnya”. (HR. Ahmad No. 3323 Abu Daud No. 1211, at-Tirmidziy No.
187, dan haditsnya disahihkan oleh al-Albaniy).
4. Jika
wudhunya batal, dan ia masih harus berada dalam kondisi mengenakan APD sementara
dikhawatirkan waktu sholat selesai, maka dalam kondisi seperti ini ia sholat
sesuai keadaannya meskipun dalam keadaan terhalang bersuci. Dan menurut
pendapat yang kuat ia tidak perlu mengqadha (mengganti) sholat tersebut.
Keadaan ini dapat diqiyaskan dengan kondisi orang yang tidak mampu berwudhu dan
bertayammum (Faaqidu at-thahurain). Berkata Ibnu Qudamah -Rahimahullah- dalam
masalah ini:
وإن
عدم بكل حال صلى على حسب حاله. وهذا قول الشافعي
“Jika ia
dalam semua kondisi tidak mendapatkan apa-apa maka ia sholat sesuai dengan
keadaannya. Dan ini pendapat Imam Syafi’i.” (al-Mughni 1/ 184).
Berkata
al-Hajjawiy –Rahimahullah-:
ومن عدم الماء والتراب أو لم يمكنه استعمالهما لمانع كمن
به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم صلى على حسب
حاله وجوبا ولا إعادة.
“Barang
siapa tidak mendapatkan air atau debu atau ia tidak mampu menggunakan keduanya
karena adanya halangan, seperti seseorang yang memiliki luka bernanah yang
kulitnya tidak dapat tersentuh dengan wudhu dan tayammum maka ia wajib
melaksanakan sholat sesuai keadaannya dan ia tidak perlu mengulangi sholatnya”.
(al-Iqnaa’ 1/ 54).
5. Jika
dalam kondisi tertentu, dengan sebab tugas nakes tidak dapat melaksanakan
sholat pada waktunya atau tidak dapat menjamak sholatnya maka dalam kondisi ini
ia segera melaksanakan sholat pada saat yang memungkinkan dan menyesuaikan
dengan keadaan meskipun waktu pelaksanaanya telah berlalu. Kondisi yang seperti
ini berdasarkan apa yang dialami oleh Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam-
beserta para sahabat pada perang Ahzab/Khandaq, yang terpaksa menunda
pelaksanaan sholat ashar sampai setelah terbenam matahari karena kesibukan
berperang, (silahkan dilihat riwayat al-Bukhari No. 4533 & Muslim No. 27).
Berkata Syeikh Ibn Baz –Rahimahullah-:
الواجب على المسلم أن يصلي الصلاة في وقتها، وألا يشغل
عنها بشيء، اللهم إلا من شيء ضروري الذي لا حيلة فيه
كإنقاذ غريق، إنقاذ من حريق، ومن هجوم عدو، هذا لا بأس
به بأن تؤخر الصلاة ولو خرج وقتها، أما الأمور العادية
التي لا خطر فيها فلا يجوز تأخير الصلاة من أجلها، فقد
ثبت عن الرسول – صلى الله عليه وسلم – لما حصر
أهل مكة المدينة يوم الأحزاب أخر صلاة الظهر والعصر إلى
ما بعد المغرب.
“Kewajiban
bagi seorang muslim untuk melaksanakan sholat pada waktunya, dan jangan
sedikitpun disibukkan dengan hal yang lain untuk melaksanakan sholat, kecuali
sesuatu yang darurat yang tidak mungkin dihindarkan, seperti: tindakan
penyelamatan orang yang tenggelam, atau korban kebakaran, serangan musuh, maka
dalam keadaan ini tidak mengapa ia mengakhirkan sholat meskipun waktunya telah
keluar. Adapun dalam kondisi normal yang tidak berbahaya, maka tidak boleh
menunda sholat. Hal ini berdasarkan apa yang sahih dari Rasulullah
–Shallallahu’alaihi wasallam- ketika pasukan kota Mekkah menegepung kota
Madinah dalam perang Ahzab, beliau menunda pelaksanaan sholat Dhuhur dan Ashar
setelah masuk waktu Maghrib”. (Fatawa Nuur ‘ala ad-Darb 7/ 94).
Kesimpulan:
1. Kondisi
darurat adalah jika APD tidak dikenakan maka akan mengancam keselamatan jiwanya
dimana ia rentan tertular virus.
2. Sebelum
menggunakan APD, maka seharusnya tenaga kesehatannya telah bersuci baik dari
hadats kecil dengan berwudhu atau hadats besar dengan mandi.
3. Jika
dalam kondisi suci, belum ada yang membatalkan wudhunya maka nakes dapat sholat
langsung sebagaimana biasanya.
4. Jika
wudhunya batal, dan ia masih harus berada dalam kondisi mengenakan APD
sementara dikhawatirkan waktu sholat selesai, maka dalam kondisi seperti ini ia
sholat sesuai keadaannya meskipun dalam keadaan terhalang bersuci.
5. Jika
dalam kondisi tertentu, dengan sebab tugas nakes tidak dapat melaksanakan
sholat pada waktunya atau tidak dapat menjamak sholatnya maka dalam kondisi ini
ia segera melaksanakan sholat pada saat yang memungkinkan.
Oleh Ahmad
Hanafi, Lc., M.A., Ph.D.
(Ketua
STIBA Makassar, Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
0 Komentar